Jumat, 31 Agustus 2007

Pendidikan Gratis Tak Terwujud, Syahrul Mundur

Makassar, Tribun - Ketua Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Kabupaten Gowa, Rahman Syah, menyebut janji pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang mirip dengan kontrak politik Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dengan legislator Gowa sebelum dilantik jadi bupati.

Saat itu, Ichsan berjanji membangun 168 Sanggar Pendidikan Anak Saleh dan 70 puskesmas pembantu (pustu) dalam kurun waktu satu tahun. "Jika janji itu tidak dipenuhi dalam kurun waktu tertentu (dua tahun), beliau siap mengundurkan diri," kata Rahman Syah saat tampil sebagai pembicara pada diskusi pilkada di Rumah Makan Wong Solo, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Kamis (30/8).

Janji itu direalisasikan Ichsan delapan bulan sejak dilantik 13 Agustus 2005. "Artinya, jika janji pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis tidak terealisasi, paket Syahrul- Agus harus mundur sebagai gubernur (jika terpilih)," lanjut Rahman.

Selain Rahman, calon Wakil Gubernur Koalisi Keumatan dan Kebangsaan, Mubyl Handaling, Aries Pangerang (tim Amin Syam-Mansyur Ramly), Tadjuddin Rahman (praktisi hukum), dan Adi Suryadi Culla (pengamat) juga jadi nara sumber. (cr1) (Sumber; Tribun Timur)

Kamis, 30 Agustus 2007

Menggagas Gerakan Profetik, Menapak Jalan Lain Peradaban

“Perubahan senantiasa memerlukan suatu tindakan untuk mengupayakan perbaikan atau perubahan, atas suatu kondisi yang dinilai tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan dan keadilan” (Timur Mahardika)


Ketidakadilan adalah fenomena yang menista nilai-nilai kemanusiaan, keadaan dimana fungsi-fungsi interaksi sosial yang manusiawi dikebiri lewat struktur kekuasaan (dalam semua level dan dimensi). Didalamnya terciptalah (atau diciptakan?) orang-orang yang hidup dari kesakitan dan ketakutan. Mereka inilah yang harus disebut sebagai korban tirani, dan despotik. Dengan infrastruktur kekuasaan yang canggih dan lengkap serta perangkat koersif rakyat miskin tidak lagi memiliki makna, yang setiap saat sah untuk disingkirkan, digusur, dan entah diapalagi dengan alasan yang memerih rasa “demi keindahan dan kenyamanan kota atau mengganggu ketenangan the have (yang berpunya).”

Kejahatan sosial, ekonomi, dan kultural telah berlangsung dalam kurung episode panjang sejarah sosial manusia. Zaman bergerak menuai penindasan demi penindasan di dalamnya dan telah berlalu bersamanya orang-orang yang mempersaksikan dan mentasbihkan dirinya untuk melakukan perlawanan. Ketidak adilan terus berlanjut dan mengalami pendakian yang semakin menuju ketitik yang tragis. Kini tiba di terminal pilihan. Apa yang niscaya dilakukan? Itu adalah pilihan terserah mobil filsafat sosial apa yang akan kita kendarai.

Membangun Gerakan

Bila diyakini bahwa manusia memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi agar kemanusiaannya menjadi nyata, maka setiap tindakan yang menghalangi aktualnya hak tersebut adalah suatu bentuk kejahatan, dan sebaliknya setiap usaha untuk mendukung proses realisasi hak-hak dasar tersebut adalah sah dan benar. Dengan nalar sosiologis sederhana, kita akan mampu melihat bahwa sistem yang otoritarian-hegemonik adalah biang kerok terhalangnya realisasi hak-hak dasar tersebut.

Basic need dalam sebuah tata sosial kemasyarakatan dapat dirujuk secara general pada kemerdekaan eksistensi dan perolehan rasa aman anak-anak jalanan, pemulung, kaum difabel (differently ability), adalah kelompok masyarakat yang mengingingkan juga kemerdekaan eksistensi. Mereka menolak stigma sosial yang menyebabkan diferensiasi perlakuan. Seorang pencuri ayam, ingin adanya pendekatan hukum yang memenuhi rasa keadilan, sehingga tidak terjadi perlakuan yang berbeda antara dirinya dengan seorang koruptor yang merampok harta dan menjual negara ini.

Sekedar contoh, seorang siswa sekolah ingin meyakinkan dirinya bahwa nilai prestatifnya tetap aman ketika dia berseberangan persektif dengan gurunya, atau menolak kebijakan sekolah yang (maaf) menggauli kemerdekaan eksistensinya. Pun demikian dengan anak-anak IRM misalnya, ketika dalam aktifitas dan ekspresi sosial mereka, R-nya (Remaja Oriented) terlihat lebih banyak dari pada M-nya (Muhammadiyah Minded), sesungguhnya mereka ingin agar ruang kemerdekaan eksistensinya tidak dikebiri karena adanya phobia a-historis.

Apabila terjadi penyumbatan terhadap kemerdekaan eksistensi dan perolehan rasa aman sebagai basic need (kebutuhan sejati, fitrah) tersebut, maka akan terjadi deviasi dan problem-problem sosial. Ketidak patuhan sistem kemasyarakatan dan ketidakpatuhan kriminal yang berbuah nestapa peradaban.

Kemelut problematik seperti diatas, tak jarang secara dogmatik dipropagandakan sebagai taken for granted (takdir Tuhan?), sehingga tidak perlu ada penyesalan, melaingkan diterima sebagai takdir, yang kita diperintahkan untuk bersabar terhadapnya. Maka ketika terjadi kebisuan dan kebungkaman solutif yang demikian, kehadiran sebuah gerakan yang meniscayakan bergaungnya kalam perubahan haruslah mewujud. Sehingga, jika kalau kita mendambakan terjadinya transformasi pranata sosial, diperlukan kerangka paradigmatik dalam aksentuasi gerakan

Klasifikasi Gerakan Sosial

Gerakan sosial dapat diklasifikasikan melalui beberapa kriteria yaitu bidang kegiatan, jenis perubahan, arah perubahan, cakupan fungsional dan keteraturan sosial. Selain kriteria tersebut gerakan sosial dapat diklasifikasikan menurut tujuan yang hendak dicapai oleh suatu gerakan sosial. Tokoh yang menggunakan kriteria ini adalah William Kornblum. Kriteria tersebut memberikan empat klasifikasi, yaitu : revolutionery movement, reforist movement, conservative movement, dan reactionary movement. Pertama, Revolutionery Movement, sebuah gerakan sosial dikatakan revolutionery movement, apabila bertujuan untuk merubah institusi dan stratifikasi masyarakat. Gerakan ini terkait dengan revolusi sosial yang merupakan suatu transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya institusi pemerintahan dan stratifikasi sosial. Contoh dari gerakan ini adalah revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi China pada tahun 1949. Pada kedua revolusi tersebut sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi masyarakatnya berubah menjadi sistem komunis. Suatu revolusi harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) melibatkan massa dalam gerakan sosial, (2) menghasilkan proses reformasi atau perubahan (change), (3) melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan dan anarkisme.

Kedua, reformist movement, gerakan sosial yang bertujuan untuk merubah sebagian institusi dan nilai diklasifikasikan sebagai reformist movement. Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908 di Jakartaa merupakan gerakan reformis, karena gerakan ini bertujuan untuk memberikan pendidikan formal kepada pribumi. Dimana pada saat itu yang mendapatkan pendidikan formal hanya para bangsawan pribumi.

Ketiga, conservative movement, gerakan sosial yang bertujuan untuk mempertahangkan nilai dan institusi masyarakat. Contoh dari gerakan ini adalah gerakan konservative wanita STOP ERA (Equal Ritgs Amandement). Gerakan ini menentang usaha kaum feminis pada tahun 80-an untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi menjamin persamaan hak pria dan wanita.

Keempat, reactionery movement, adalah suatu gerakan sosial yang bertujuan untuk mengganti institusi dan nilai masa kini dengan institusi dan nilai masa lampau. Contoh yang diberikan Kornblum adalah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di Amerika Seriat ke masa lampau di kala institusi-institusi sosial mendukung keungulan keunggulan orang kulit putih di atas orang kulit hitam (white supremacy).

Gerakan Sosial Profetik

Mengkaji ilmu-ilmu sosial atau filsafat sosial profetik tidak bisa dilepas dari sosok budayawan Yogyakarta, Kuntowijoyo. Apa yang menarik dan yang digagas oleh Pak Kunto? Secara sederhana dapat kita lihat pada bukunya Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991), dia memandang bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika – sebagai adjective dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektifikasi” beserta ilmu-ilmu modern lainnya.

Gerakan sosiol profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubaan sosial yang berangkat dari nilai profetika (kenabian) dengan kerangka pemikiran sosil yang multi paradigmatik. Jadi, bisa dikatakan bahwa gerakan sosial profetik hampir mirip dengan gerakan anti kekerasan, humanis kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap realitas sosialnya dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang aktivis harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari struktur realitas tersebut. Maka, pendekatan yang dipakai adalah terlibat bergumul secara langsung dengan relitas yang dialami masyarakat. Ya, seperti itulah para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Ketika realitas dieroleh, maka perlu pelibatan apakah analisis sosial, pendekatan pemahaman (interpretatif) untuk membaca bersama-sama realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermaneutika, verstehen, maupun kajian fenomenologis.

Di tengah paradoks globalisasi dan modernitas yang mengalami krisis makna, sudah saatnya gerakan sosial profetik menjadi tawaran untuk melanjutkan kerangka usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Gerakan sosial profetik hanyalah salah satu model perubahan sosial yang tidak mengenal kata akhir dan merupakan proses yang tidak berhenti alias terus menerus, suatu yang “commencement”, yaitu selalu “dimulai dan dimulai lagi” atau menurut Freire, tidak boleh mandek atau berhenti pada suatu titik kemapanan, ia harus terus berproses, mekar dan berlanjut dari satu fase-kefase berikutnya, dari tingkat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis” dan pada akhirnya mampu mencapai tingkat kesadaran paling tinggi yaitu kesadaran-kesadaran (the consice of the consciousness). Seperti juga kata Pak Kunto bahwa yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat kearah yang adil, santun, dan manusiawi, dengan berangkat pada tiga unsur pembentuknya, yaitu emansipasi, liberasi, dan transendensi. Wallahu A’lam Bish-Shawab. ( Masmulyadi, Ketua PP IRM )

Sabtu, 25 Agustus 2007

Islam; Nalar Pembebasan dan Transformasi Sosial

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan, sangat mengingingkan keselamatan bagimu” (Q.S. [9] : 128)

“saya memasuki Islam, tanpa mengingkari apa yang pernah dibawakan Yesus dalam hidup saya, karena Yesus dalam Qur’an adalah nabi Islam. Saya juga tidak mengingkari apa yang telah diajarkan marxisme kepada saya untuk menganalisa masyarakat kita agar dapat bertindak didalamnya secara efisien, karena aqidah Islam tidak menolak sains atau teknik apapun, tetapi sebaliknya mempersatukan dan menempatkan dijalan Allah ........” (Roger Garaudy, 1984)

Risalah Pengantar:
Advokasi Sosial Dalam Terang Wahyu

Namanya Muhammad bin Abdullah. Ketika usianya memasuki masa remaja, ia menemukan masyarakat Mekkah berkubang dalam penyimpangan-penyimpangan etik sosial. Perbudakan telah menghasung nilai-nilai kemanusiaan. Kepentingan kapital berjuis menghasilkan perdagangan riba, praktek ekonomi yang eksploitatif. Mitos tentang aib anak perempuan mitif dan latar belakangnya adalah materi, yang lalu berujung pada penguburan hidup-hidup bayi perempuan (Q.S. [81] : 8 - 9). Relasi sosial menjadi timpang. Komulasi kapital pada segelintir orang (konglomerat borjuis) mendedehkan mayoritas tertindas.

Di tengah kondisi sosial yang kian miris, ia lalu memutuskan melakukan kontemplasi spiritual (khalwat), disebuah tempat yang dalam sejarah disebut gua Hira’. Selama masa yang cukup panjang dalam pendakian spiritualnya, ia tak hanya mengisi malam-malamnya dengan munajat, namun juga menjalani hari-harinya dengan derma dan memberi makan kepada orang-orang miskin. Tuhan kemudian menyapanya, wahyu pertama turun (Q.S. [96] : 1-5 ) dan inilah yang menandai lahirnya sebuah konsepsi kritikal terhadap sistem sosial yang lama. Dalam terang wahyu agama tersebut, Muhammad menjadi nabi utusan Tuhan untuk melakukan pencerahan, pendampingan dan pembelaan (advokasi sosial) struktural maupun kultural terhadap kaum yang tertindas dalam dua stage. Pertama, membangkitkan harga diri rakyat tertindas, berada dan bergerak bersama para hamba sahaya dan orang-orang miskin. Kedua, sebagai pemimpin dan pembebas kaum tertindas, beliau memilih hidup seperti mereka.

Islam dan Responsibilitas: Membela Kaum Tertindas
“Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki maupun anak-anak yang semuanya berdoa; ‘ya tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau
(Q.S. [4] : 75 )“.

Asghar Ali Engineer mengutip Khaury, seorang penulis kristen Lebanon yang menulis tentang misi awal Islam; “Betapa sering kita mendengar panggilan muazzin dari menara masjid kota Arab yang abadi ini, Allahu Akbar! Allahu Akbar! Betapa sering kita membaca atau diceritakan bahwa Bilal dari Abbesenia, adalah orang pertama yang membuat semenanjung Arabia bergema dengan panggilan ini, pada waktu misi Nabi sedang berada pada pertumbuhannya, saat itu ia menanggung penyiksa dari para penganiaya dan orang-orang konservatif yang keras kepala. Adzan Bilal adalah seuntai “genderang pengiring” awal dari suatu perjuangan antara suatu zaman yang akan berakhir dan suatu zaman yang mataharinya menyingsingkan keadilan. Tetapi sudah pernahkah engkau merenungkan tentang apa yang berkaitan dengan panggilan itu dan apa makna yang dikandungnya? Apakah engkau ingat, setiap kali engkau mendengar gema dari panggilan sejati itu? Apa maksud Allahu Akbar? Dalam bahasa sederhana; hukum lintah darat yang rakus! Tuntut pajak orang yang menumpuk keuntungan! Sita harta para monopolis pencuri itu! Bagikan roti pada rakyat! Buka jalan pendidikan dan kemajuan bagi perempuan! Hancurkan semua orang yang hina yang membentangkan kesombongan dan membuat ummat menjadi berkelas-kelas! Cari ilmu walau sampai kenegeri China (China sekarang tidak hanya sekedar China masa lalu), biarkanlah bintang-bintang kebebasan dan demokrasi sejati bercahaya terus menerus”.

Islam sebagai gerakan keagamaan, tidak hanya menyangkut spiritualitas, tetapi lebih jauh dari itu ia adalah locus kepedulian dari pembentukan masyarakat adil, bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan, dalam bentuk apapun. Engineer kemudian merekomendasikan defenisi ulang terhadap beberapa istilah yang sering digunakan dalam Qur’an seperti; kufr, iman dan tauhid. Istilah-istilah tersebut memiliki konotasi dan implikasi sosial. Kufr, misalnya tidak melulu berarti penolakan secara formal terhadap agama, akan tetapi orang menjadi kufr karena tidak memiliki sensitifitas sosial, melakukan penumpukan kekayaan, penindasan dan eksploitasi. Dalam salah satu surah misalnya al-Qur’an menuturkan dengan indah

“ Tahukan kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (Q.S. [107] : 1-3)”

Konsep sentral lainnya dari Islam adalah tauhid, dalam perspektif tradisional, mengacu pada keesaan Allah. Dalam paradigma pembebasan dan transformasi sosial, tauhid takkan mentolerir diskriminasi, hegemoni dan ketidakadilan, serta secara jelas menentang semua institusi yang menindas. Iman senantiasa diikuti dengan kosa kata amal saleh, oleh Kuntowijoyo amala saleh dimaknai sebagai revolusi sosial.

Dalam beberapa hadist, seperti dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat, Nabi menjelaskan iman dengan indikator-indikator kepedulian terhadap kelompok merginal (pheriperal). “Tidak beriman kepadaku mereka yang tidur kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan disampingnya”, demikian kata Nabi dalam riwayat Tabrani dan Al Bazzar. Dengan demikian, iman menjadi proses internal kenyataan dan dorongan menuju perubahan, bukan mencari penyesuaian dengan kenyataan. Seperti apa yang dikatakan oleh Roger Garaudy, “iman memasukkan kita kedalam pertarungan dengan kenyataan”. Maka agama, pentulan dari kenyataan, tetapi juga protes terhadap kenyataan sekaligus proyeksi terhadap kenyataan lain.

Al Qur’an menurut Mulkhan, bukanlah sebuah kitab yang hanya berbicara tentang tuhan, surga, setan atau malaikat, makhluk ghaib, kematian dan akhirat. Melaingkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya beserta masalah kemanusiaan. Semua masalah teologi tersebut, oleh Al Qur’an, dibicarakan dalam kerangka kemanusiaan. Agama kemudian mewujudkan menjadi praksis sosial untuk meretas problem manusia. Untuk itu segera harus difahami, bahwa beragama (Islam) meniscayakan tanggung jawab sosial dalam rangka pembelaan (advokasi) kaum tertindas (proletar – mustadha’afin).

Kesadaran Nubuwah Menuju Aktivisme Sejarah
Para Nabi senantiasa memperjuangkan monoteisme (Tauhid), dalam segenap perbuatan, tujuan dan dedikasih mereka. Kazou shimogaki, menggambarkan pandangan dunia Tauhid, dalam kehidupan sosial muslim sebagai berikut :

Dalam tauhid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah esa. Menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan. Ke-esaan tuhan berarti juga keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kewadagan, antara keagamaan dan keduniawian. Dengan memahami seluruh aspek kehidupan diatur oleh satu hukum dan tujuan seluruh muslim bersatu dalam kehendak Allah”.

Tauhid, dengan demikian, merupakan lokus kecintaan kemanusiaan dalam proyeksi ilahiah. Dalam kaitan Tauhid sebagai evolusi kenabian, menarik untuk mengikuti apa yang disebut oleh Murtadha Muthahhari ‘Daur Tuhan’. Para nabi, pada awal perjalanannya dimulai dari cinta yang sangat dalam kepada tuhan. Cinta ini kemudian mendorong nabi untuk berjalan menuju tuhannya, untuk sebuah evolusi kenabian. Fase ini disebut “perjalanan dari mahluk menuju khalik”. Kekariban dengan ambang tuhan, oleh Iman Ali AS, disebut sebagai muara (maqam) yang penuh damai.

Akhir dari perjalanan itu adalah awal dari perjalanan lain, yaitu fase kedua yang dinamakan “perjalanan dalam kebenaran dengan kebenaran”, pada tahap ini nabi tidak kemudian berhenti, seperti seorang sufi yang berkata, “aku bersumpah demi Allah, jika mampu mencapai tempat itu, aku tak akan pernah kembali ke bumi”. Akan tetapi setelah dikaruniai kebenaran paripurna, melintasi ‘daur tuhan’, dan mengenali krama ‘maqam’, mereka ditunjuk sebagai nabi dan memulai perjalanan ketiga yaitu “perjalanan dari tuhan ke arah manusia”. Inilah perjalanan yang menjadi penanda dimulainya aktivisme sejarah, menjelajah diantara manusia untuk melakukan transformasi sosial, dengan pisau intelektualitas dan bara ingatan akan tuhan. Kembalinya nabi ke arah manusia, ini menandai permulaan perjalanan dan kisaran evolusi keempat nabi.

“Kini telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaannya. Ia sangat menginginkan (keselamatan dan keimanan bagimu, umat welas asih lagi penyayang”. (Q.S. [9] : 129 )

Maka tauhid merupakan tiang pancang kesadaran nubuwah meniscayakan lahirnya tanggung jawab sosial, membangkitkan kecakapan alami insaniah, dan mencerahkan naluri ghaib serta cinta kasih tersembunyi pada eksistensi manusia.

Transformasi Sosial; Agama Sebagai Candu atau Pembebas
Ditengah masyarakat Eropa, Karl Heinrich Marx menyaksikan, betapa fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “meninabobokan” dengan janji penyelamatan akhirat diatas penderitaan dan kelaparan. Lembaga-lembaga agama (kristen ketika itu) dan pemimpin agama telah memainkan peranan diluar misi agama sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama menjadi alat legalisasi kekuasaan yang menguntungkan segelintir elit. Andi Muawiyah Ramli menuliskan kembali kritik Marx terhadap agama :

“Agama adalah kesadaran diri dan perasaan pribadi manusia, disaat ia belum menemukan dirinya atau disaat ia telah kehilangan dirinya. Tetapi manusia itu bukanlah sejenis mahkluk abstrak yang berjuang diluar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Negara, masyarakat itu menghasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran terhadap dunia yang tidak masuk akal. Agama adalah teori tentang dunia, ensiklopedia compendium ... ia adalah realisasi fantastis mahkluk manusia, sebab ia tidak memiliki realitas yang sungguh jadi ... kesengsaraan religius di satu pihak adalah pernyataan dari kesengsaraan nyata, dan dilain pihak sebagai suatu protes terhadap kesengsaraan yang nyata itu. Agama adalah keluh kesah mahkluk tertindas jiwa dari suatu dunia yang tidak berkalbu, seperti halnya ia merupakan roh dari suatu kebudayaan yang mengenal roh. Agama adalah candu bagi rakyat”.

Dengan demikian pada akhirnya agama tidak lebih dari ilusi-ilusi sehingga menurut Marx :

”Penghapusan agama sebagai suatu kebahagiaan palsu bagi rakyat adalah kebahagiaan nyata bagi rakyat, itulah tuntutan-tuntutan palsu untuk menolak suatu keadaan yang membutuhkan ilusi-ilusi. Maka kritik agama pada dasarnya adalah kritik terhadap lembah air mata yang mahkotanya adalah agama”

Menurut Michael Lowy ungkapan Marx diatas lebih menyimpan nuansa ketimbang benar-benar percaya. Analisis itu bersifat dialektis karena menyatakan watak penuh saling pertentangan dari gejala keagamaan, pada saat tertentu menjadi kekuatan penentang melawan kemapanan itu. Jadi sesungguhnya Marx tetap mempertimbangkan watak ganda dari agama.

Lalu bagaimana dengan Islam? Mansour Faqih mempetakan gerakan Islam dalam respon fenomena sosial yang berkembang dengan empat paradigma, yakni paradigma tradisionalis, modernis, revivalist dan transformatif.

Pertama, paradigma tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan ummat pada hakekatnya ketentuan dan rencana Tuhan. Masalah kemiskinan dan marginalisasi difahami sebagai ”ujian” atas keimanan. Akar teologis paradigma ini bersandar pada konsep sunni (aliran Asy’ariyah), mengenai predeterminism (takdir), yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum diciptakannya alam. Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhirnya tuhan yang mutlak menentukan.

Kedua, paradigma modernis atau Islam liberal. Mareka menangkap bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin pada dasarnya berakar pada persoalan ”karena ada yang salah dalam sikap mental, budaya, ataupun teologi yang mereka pegangi”. Asumsi dasar mereka adalah bahwa keterbelakang umat Islam karena mereka melakukan sakralisasi terhadap semua aspek kehidupan, maka diperlukan agenda sekularisasi agama. Jadi yang salah adalah si korban sendiri, tanpa melihat faktor lain (struktur sosial).

Ketiga, paradigma revivalist atau fundamentalis, mereka meyakini bahwa faktor penyebab keterbelakangan ummat dikerenakan ummat memakai ideologi atau ”isme” yang lain sebagai pijakan dasar ketimbang menggunakan Al-Qur’an. Keempat, paradigma transformatif, adalah fikiran alternatif terhadap ketiga paradigma diatas. Mereka percaya bahwa kemiskinan rakyat, termasuk kaum muslim, disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik maupun kultur. Sehingga yang niscaya untuk dilakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan kultur tanpa hegemoni, refresi diatas penghormatan terhadap hak asasi manusia (human raight).

Keadilan menjadi prinsip fundamental dari paradigma ini. Fokus kerja mereka adalah mencari akar teologis, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas ( proletar – musatdha’afin ) tidak hanya diilhami oleh al-Qur’an, tetapi juga hasil analisis kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mazhab ini harus difahami sebagai agama pembebasan bagi mereka yang tertindas serta mentransformasikan sistem sosial yang eksploitatif menjadi sistem yang adil.

Dengan demikian tanggungjawab sosial ( social responsibility ) merupakan keniscayaan bagi mereka yang menyatakan diri kaum beriman. Kemiskinan boleh jadi sudah disepakati sebagai masalah sosial, tetapi penyebab dan bagaimana cara mengatasinya bergantung pada ideologi dan paradigma yang dipergunakan, sebagai proyeksi sosial keagamaan kita.

Khulasah

Selamat Tinggal Muslim Naif
Selamat Bergabung Muslim Progresif
( Kuntowijoyo )

”Inilah kata kataku yang terakhir bagi kaum muslim dan rakyat tertindas diseluruh dunia, kalian tidak boleh berpangku tangan, menunggu diberi anugerah kemerdekaan dan kebebasan oleh yang berkuasa di negeri kalian atau oleh kekuasaan asing. Kalian, wahai rakyat tertindas judulnya, wahai negeri muslim, bangun! Ambillah hak kalian dengan gigi dan cakar kalian(Ayatullah Khomeini)

Perutnya buncit, tentu saja bukan karena busung lapar, tapi karena tumpukan lemak. Ia sering menyebut diri dan partainya sebagai pembela wong cilik. Istrinya adalah presiden anda sekarang ini, yang berkali-kali mengajak rakyat untuk hidup prihatin dan sederhana. Tetapi betapa memilukan dan memuakkan, ditengah basic need yang makin sulit dijangkau masyarakat kecil, Taifik Kiemas ( suami presiden anda itu ) merayakan ulang tahunnya di pulau dewata Bali, dengan menghabiskan uang sepuluh milyar rupiah.

Seperti tidak mau kalah orang nomor dua di negeri ini (wapres), yang partainya partai Islam, yang kadang tampil dalam pakaian ulama, memboyong seluruh keluarganya naik haji. ”Saya dan keluarga naik haji dengan uang sendiri” ucapnya. Tetapi ia tidak jujur. Sejumlah pengawal, ajudan, petugas protokoler kenegaraan yang ’terpaksa’ ikutan, biayanya tentu saja menggunakan uang rakyat (Negara).

Kuntowijoyo pernah menulis cerpen, ”Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Dalam cerpen tersebut diceritakan tentang adanya orang tua yang berkata, ” kalau nafsu mengalahkan budi, orang tidak akan mendapatkan ketenangan jiwa ”. Barangkali mereka, para penguasa itu tetap saja senyum kemana mana sambil mengumbar janji-janji politik. Subagyo Sastrowardoyo lalu menyindir mereka dalam puisinya :

Mereka membuat rel dan sepur
Hotel dan kapal terbang
Mereka membuat sekolah dan kator pos
Gereja dan restoran
Tapi tidak buatku
Tidak buatku

Para penindas itu, kadang bersembunyi dibalik eupemisme agama, seperti yang pernah dikatakan Immanual Kant, ”Agama hanya dalam batasan akal. Sebuah keimanan yang palsu dan hidup subur dalam negeri yang memegang keculasan dengan bendera kebajikan”, kita kemudian harus memahami kenyataan bahwa diantara kita belum ada yang berani berdiri tegak menentang kezaliman di negeri ini dengan jiwa penuh ketulusan. Kita ternyata selalu saja disibukkan untuk membangun ”puzzle” gengsi sosial dan pemenuhan status material yang membawa kita dalam lingkaran pragmatisme.

Meski demikian saya akan senantiasa meyakini, bahwa ada ( dan bisa jadi sudah ada ) kelompok ana muda yang dengan penuh ketulusan membentuk dirinya sebagai agent perlawanan terhadap rezim despotik – lalim. Dipenghujung tulisan ini, akan kukutipkan seruan uskup Nikaragua dalam melawan kediktatoran Somoza, lewat pernyataannya yang diberi nama ”pesan kepada ummat” :

”Kita tidak dapat Cuma berdiam diri ketika bagian terbesar negeri menderita dalam keadaan kehidupan yang tidak manusiawi sebagai hasil dari pembagian kekayaan yang tidak adil dari sudut pandang apapun ......... jika kematian dan hilangnya banyak warga negara di kota-kota dan desa-desa tetap menjadi misteri ... ... ... jika hak warga negara untuk memilih penguasa mereka dikelabui permainan politik berbagai pihak ..........”.

Karena itu :
Demi Indonesia
Demi Kemanusiaan
untuk Para Penindas
Cukup Satu Kata
Lawan!

Jumat, 24 Agustus 2007

Transmisi Gerakan Islam Politik di Indonesia

Dr. Zuly Qodir
Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah 2005-2010, pendidik di Universitas Islam Negeri Yogyakarta dan peneliti PSKP UGM

Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indonesia. Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus yang tidak berbasis keislaman seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Univ. Brawijaya berkembang kelompok kelompok pengajian kampus, yang sering disebut sebagai Gerakan Dakwah Kampus, jamaah mushola, usrah-usrah, kelompok tarbiyah, dan halaqah.

Kelompok-kelompok gerakan Islam Kampus ini sekurang-kurangnya mempunyai cirri-ciri memanjangkan jenggot (yang dianggap sebagai bagian dari sunnah Nabi), memanjangkan jilbab yang sebelumnya pemakaian jilbab hanyalah identik dengan krudung (kerudung Mbak Tutut/Ibu Shinta Abdurrahman Wahid), belakangan berkembang menjadi jilbab Astri Ivo, Inneke Koesherawati, Desy Ratnasari, Ratih Sanggarwati, bahkan sebelumnya jilbab dan mukena Krisdayanti bagi kelompok jamaah pengajian kampus yang perempuan.

Sementara untuk kelompok laki-lakinya, selain memanjangkan jenggot, memakai pakaian congklang dan baju gamis (kita bilang baju koko), menghitamkan jidad, dan memanggilnya dengan sebutan “ana” untuk saya dan “antum” untuk anda atau kamu. Dua kosa kata ini hampir senantiasa dipakai oleh kelompok jamaah pengajian kampus sehingga membedakan dengan kelompok jamaah lainnya. Bahkan ada yang menyebutnya dengan panggilan “ikhwan” dan “akhwat”, identifikasi pada Ikhwanul Muslimin.

Perkembangan kelompok tarbiyah, halqah, usrah, dan gerakan dakwah kampus ini terus berkembang dan merebak hampir ke seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia. Gerakan tarbiyah (untuk menyebut seluruh kelompok dalam tulisan ini), sejak tahun 1998, pasca tumbangnya Soeharto mendirikan Partai Keadilan yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera, sebab tahun 1999 tidak memenuhi electoral threshold, sehingga merubah Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Jika kelompok tarbiyah (kemudian mendirikan Partai Keadilan) sekarang PKS, sebagai transmisi dari Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna, maka ada kelompok lain yang sejak awal memang menyebut partai politik yakni Hizbut Tahrir Indonesia, yang merupakan bagian dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin Nabhani di Jordania. Dua-duanya merupakan gerakan Islam politik yang memiliki basis massa pada kelompoknya masing-masing, hanya belakangan dalam menyebarkan gagasannya dibungkus dalam gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang dilakukan Muhammadiyah dan NU.

Dua kelompok Islam inilah yang dalam dalam tulisan ini akan diperjelas dalam hal gerakan yang dilakukan dalam mengembangkan sayapnya di masyarakat Islam Indonesia dan muara dari seluruh gerakannya, sekalipun dalam berbagai bentuknya yang manipulatif, sehingga membuat sebagian umat Islam (Muhammadiyah dan NU) terutama anak-anak mudanya tergiur untuk mengikutinya dengan tawarantawaran yang disampaikan, yang seakan-akan lebih bagus dan memadai, serta memiliki peran lebih hebat dari Muhammadiyah dan NU dalam memberikan kontribusi buat Islam dan Indonesia.

Strategi Gerakan
G
erakan tarbiyah (PKS) menjadi memiliki pengaruh yang agak kuat di masyarakat sejak tahun 1990-an, apalagi sejak keterlibatan alumnialumninya dari Timur Tengah. Ada perubahan - perubahan metode, materi, dan nama atas identitas gerakan tarbiyah ini, terutama sebelum reformasi berlangsung. Namun perubahan terus dilakukan pada saat reformasi telah berlangsung 1998. Gerakan tarbiyah melakukan gerakan pada masyarakat dengan berbasiskan masjid-masjid, semula dari masjid kampus sebagaimana awal pendiriannya. Masjid Salman ITB adalah cikal-bakal gerakan tarbiyah berlangsung di Indonesia.


Gerakan ideologisasi dilakukan dengan dua stragei besar. Pertama, persebaran gagasan Islam yang mereka kemas untuk masyarakat umum secara luas. Gerakan yang mereka lakukan dengan cara penyelenggaraan program peribadatan, seperti training ke-Islaman di sekolah-sekolah berupa training Islam untuk pemula (Islamic training for beginner), kajian fikih perempuan (fikh nissa), bimbingan belajar, kursus-kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku-buku yang seideologi, memberikan ceramah-ceramah (gratis), termasuk menyediakan khatib yang siap pakai, pembinaan anak-anak (TK-SD), belakangan dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TK-IT) yang jumlahnya ratusan sehingga bersaing dengan TK ABA (milik Aisyiyah) dan TK Raudhatul Athfal (milik Muslimat NU), memberikan kursus-kursus pada ibu-ibu rumah tangga, kursus kursus untuk remaja Muslim, pengiriman buku-buku, stiker, selebaran pada masyarakat (ke rumah-rumah), penterjemahan buku-buku berbahasa arab yang se ideologi (Ikhmanul Muslim), program penerbitan buku-buku Islam, dokumentasi kegiatan, dan konsultasi-konsultasi.

Kegiatan-kegiatan di atas dikemas sedemikian rupa sehingga yang baru pertama mendengar dan melihat pasti akan tertarik, bahkan menyangka sama dengan gerakan dakwah Islam yang dilakukan Muhammadiyah dan NU. Tetapi jika diikuti dan diamati lebih jauh sebenarnya bukan saja menyamai program dakwah Muhammadiyah dan NU, tetapi malah mengambil alih program dakwah Muhammadiyah dan NU, dengan memanfatkan jamaah Muhammadiyah dan NU yang telah dibina oleh dua persyarikatan terbesar di Indonesia tersebut.


Hal itu yang hemat saya perlu dicermati dan diwaspadai, sebab sebagai gerakan politik, etika biasanya adalah omong kosong, yang penting dapat mengelabui masyarakat yang sedang diarahkan (digiring agar mengikuti) ideologinya. Nanti jika sudah menjadi jamaahnya, maka bukan suatu hal yang mustahil akan berbalik untuk menjelekkan kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam membangun masyarakat yang bermartabat, memiliki nilai-nilai moralitas (etika) yang bagus, dengan menafikan apa yang dikerjakan Muhammadiyah dan NU dengan menegasikan bahkan konfrontasi dengan tuduhantuduhan apa yang dilakukan Muhammadiyah dan NU sekarang sudah tidak mencukupi dan tidak relevan untuk Islam Indonesia.

Kedua, strategi kaderisasi, yakni dengan melakukan training training yang intensif untuk anak-anak, remaja, dan mahasiswa. Studi Islam Intensif, Latihan Mujahid Dakwah dan Training untuk Pembina, dilakukan secara berjenjang dan benar-benar intensif, seperti pemberian materi tentang shalat, puasa, zakat dan haji, di samping Iqra. Oleh sebab itulah, tidak heran bila kelompok tarbiyah (PKS) menyediakan pendidik-pendidik Iqra untuk anakanak, guru-guru TK, SD dan SMP sampai juru masak untuk ibu-ibu dan remaja Muslim di lingkungan Muhammadiyah danNU.


Dalam perkembangannya, sejak tahun 1990-an, sistem gerakan tarbiyah mengalami perkembangan yang lebih mengerikan, seperti mengadakan pertemuan-pertemuan (liqa), dauroh, rihlah (wisata), mabit (kegiatan malam), mukhoyyam (berkemah), seminar, dan bedah buku. Kegiatan malam belakangan bahkan mengarah pada konsultasi penyakit dan pengobatan dengan praktek mendekati perdukunan dengan mantra-mantra (rukyah) pengusir demit. Selain strategi ini, gerakan tarbiyah juga menggunakan media massa untuk mensosialisasikan gagasangagasannya. Jika tidak bisa menerbitkan majalah sendiri maka mengusai media yang sudah ada dengan mainstream gagasan yang didesakkan pada edisi-edisi tertentu, sehingga masyarakat pembaca melihat apa yang menjadi gagasannya, sekaligus dengan mendompleng (masuk) dalam majalah jamaah lain seperti majalah milik Muhammadiyah (seperti Majalah Tabligh PP Muhammadiyah maupun milik NU) bseakan-akan Muhammadiyah dan NU membenarkan dan mendukung cara-cara yang mereka lakukan. Tidak perlu mengeluarkan biaya produksi, honorarium dan sebagainya, gagasannya dilihat oleh orang Muhammadiyah dan NU dan mendapatkan pembenar.

Stragegi di atas sebenarnya sudah meresahkan Muhammadiyah dan NU, tetapi bukan hanya itu, kita tahu sebagai gerakan politik, maka secara perlahan-lahan dalam rangka memperluas jaringan politik dan gerakannya, maka amal usahaamal usaha Muhammadiyah dan NU seperti sekolah-sekolah, masjidmasjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan NU dikelola oleh mereka dengan menyediakan khotibnya, gurunya untuk TK-SMP, bahkan ikut menjadi pengurus Muhammadiyah dan NU dengan identitas Muhammadiyah dan NU dengan dalih dalam rangka mengembangkan dakwah Islam amar m’ruf nahi munkar. Dan yang paling popular adalah pengamalan syariah Islam.

Dengan doktrin sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’rf nahi munkar dan pengalaman syariah Islam maka, orang Muhammadiyah dan NU terkecoh habis-habisan sebab tidak mungkin melarang orang Islam yang berdakwah Islam. Tetapi, hemat saya mulai saat ini, orang Muhammadiyah dan NU harus beanar-benar menyadari, sebab gerakan tarbiyah adalah gerakan politik praktis yang berkedok dakwah yang sungguhsungguh sangat berbahaya, karena bukan tidak mungkin akan melakukan pengambilalihan atas amal usaha yang sekarang kita miliki. Sebelum terlambat, hemat saya, warga Muhammadiyah dan NU harus bergerak secara bersamasama merapatkan barisan menentang cara-cara yang dilakukan kelompok tarbiyah dengan mengajukan pertanyaan kritis, untuk apa gerakan politik harus berkedok dakwah Islam, sebab sangat jelas mengaburkan dan memanfaatkan Islam untuk kepentingan kelompoknya bukan kepentingan semua masyarakat Islam.

Tidak berbeda jauh dengan gerakan tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia juga melakukan gerakannya dengan metode yang bervariatif, dengan materi yang beragam tetapi muaranya adalah politik Islam, yakni dengan mendeklarasikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Beberapa gerakan yang dilakukan antara lain menggunakan tiga tahapan (marhalah). Pertama, marhalah tasqif (tahap pembinaan). Pada tahap ini yang dibentuk adalah kader-kader partai. Kedua, marhalah tafa’ul ma’a al ummah (tahap interaksi dengan masyarakat. Pada tahap ini kader partai diturunkan di tengah masyarakat. Mereka mengemukakan gagasannya dengan menjawab masalahmasalah yang muncul dengan simbol-simbol Islam, misalnya ekonomi Islam, politik Islam, partai Islam dan seterusnya sehingga Islam oleh masyarakat dianggap sebagai obat segala obat persoalan masyarakat yang demikian kompleks dan kontekstual. Islam dikemas agar “cespleng” dengan problem riil penduduk Indonesia, sekalipun tidak terjadi sampai saat ini. Ketiga, marhalah istilam alhukm (pengambilalihan kekuasaan). Setelah masyarakat diindoktrinasi dengan gagasangagasan yang diambil dari Taqiyuddin Nabhani diharapkan masyarakat menuntut pemberlakuan syariah Islam dan didirikannya Negara Islam.

Dalam menuju tiga tahapan aktivitasnya, ada beberapa kegiatan yang dikerjakan antara lain melalui jaringan dakwah kampus, menguasai masjid-masjid kampus, menyelenggarakan pengajian pengajian untuk umum, baik masyarakat, mahasiswa maupun pelajar sehingga yang tertarik akan dijadikan kader partai setelah dibina, mereka melakukan daurohdaurah dan halaqah yang diikuti oleh 10-15 orang. Dalam rekrutmen dan pengkaderan HTI memaki sistem stelsel, selain bila sudah menjadi kader dan datang dalam forumforum akan berupaya menguasai forum dengan menempatkan orangorangnya di semua sudut ruangan untuk berkomentar, bertanya, interupsi dan mendebat dengan bertubi-tubi.

Pengalaman diskusi di arena Muktamar Malang adalah bukti konkretnya. Selain pengalaman penulis di forum-forum seminar yang dihadiri aktivis HTI. Hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari Muhammadiyah dan NU adalah bahwa HTI sekarang telah masuk pada Muhammadiyah dan NU. Mereka menjadi pengurus di organisasi Muhammadiyah dan NU, bahkan belakangan menjadi idola di Muhammadiyah dan NU sehingga senantiasa diundang oleh anakanak dan orang-orang Muhammadiyah dan NU yang sejatinya tidak mengetahui siapa sebenarnya latar belakang narasumber tersebut.

Muaranya Politik Kekuasaan
Dari seluruh rangkaian kegiatan yang dibungkus dalam lebel dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, adalah bermuara pada politik sebagai tujuan akhirnya. Oleh sebab itu, sebenarnya yang mestinya dipahami sejak sekarang sebelum terlambat adalah gerakan politiknya harus kita sampaikan pada masyarakat sehingga masyarakat sadar bahwa yang dilakukan gerakan tarbiyah dan HTI adalah gerakan kekuasaan, bukan gerakan keislaman.

Beberapa tokoh gerakan tarbiyah (PKS) seperti Hidayat Nurwahid (Ketua MPR) dan tokohtokoh HTI, antara lain Adian Husaini, Ismail Yusanto, dan Al Khatat adalah masuk dalam jajaran pengurus Muhammadiyah. Di Yogjakarta. Mereka masuk di universitas - universitas u Muhammadiyah menjadi dosen di beberapa fakultas dan mengajar beberapa mata kuliah, termasuk keislaman.

Untuk melancarkan gerakan politiknya, gerakan tarbiyah membuat penerbitan seperti Majalah Sabili, Hiyatatullah, sampai malajah porno semacam POP, tetapi tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum; membentuk jamaah pengajian Sidiq, membentuk kelompok Nasyid, membentuk lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri, penerbitan Gema Insyani Press, Pustaka Al-Kautsar, RobbaniPress, Al-Ishlahy Press, I’tishom, Era Intermedia, As-Syamil, dan sebagainya.

Penerbitan-penerbitan HTI juga demikian banyak, tetapi lebih menyukai mendompleng dengan penerbitan yang sudah ada di organisasi Islam lain yakni dalam Muhammadiyah dan NU. Itulah, yang sekarang sedang kita hadapi, Muhammadiyah dan NU sedang menghadapi sebuah pertarungan besar yang mengatasnamakan sesama Islam dan dakwah Islam sehingga seringkali mengacaukan masyarakat tatkala akan bertindak tegas pada mereka. Padahal gerakan tarbiyah dan HTI sejatinya adalah gerakan politik kekuasaan.

Gerakan Formalisasi Syariat Tak Ada Matinya!

Perjuangan formalisasi syariat di tingkat negara tak pernah berhenti sejak republik ini berdiri. Kini, perjuangan itu diwakili oleh gerakan Islam syariat yang berpandangan salafiyah-ideologis. Mengapa gerakan ini tak pernah mati? Buku Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah-Ideologis di Indonesia memberi cukup jawaban. Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan penulis buku tersebut, Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta yang dikutip dari www.islamlib.com, semoga saja memperkaya gagasan tenteng diskursus Islam Syari'at.

Pak Haedar, buku Anda, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, merupakan ulasan pertama tentang gerakan-gerakan Islam baru di Indonesia sejak era reformasi. Apa yang dimaksud dengan istilah ”salafiyah ideologis” di situ?
Haedar Nashir: Penggunaan istilah “salafiyah-ideologis” itu saya rujukkan ke semangat puritanisasi yang tumbuh di dalam beberapa gerakan Islam setelah era reformasi. Menurut saya, ini gejala yang agak lain dari gerakan salafiyah pada umumnya. Salafisme memang merupakan gerakan kebangkitan Islam yang tekanannya pada pemurnian dan ingin menerapkan Islam secara otentik sebagaimana era salaf (generasi Islam perdana). Pada generasi salafiyah sebelumnya, gerakan-gerakan semacam ini bercabang menjadi kelompok yang fokus untuk pemurnian, dan yang lebih ke arah pembaharuan Islam.

Nah, salafisme yang muncul sekarang ini tekanannya justru lebih ke politik. Semangat puritanisasinya kemudian memeroleh tambatan pada aspek Islam dalam konstruksi syariat yang muara sebenarnya ke arah integralisme Islam yang telah tereduksi. Orientasi ideologis mereka tampak sangat kentara. Mereka ingin menerapkan syariat dalam konteks negara—syariat yang melembaga ke dalam negara. Dari situ saya menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan ini lebih berorientasi ke tujuan-tujuan politik.

Apakah ada kelanjutan atau pertalian antara gerakan salafiyah ideologis ini dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya, seperti NII atau DI/TII dan unsur-unsur salafisme dalam Muhamadiyah sendiri?
Gerakan salafiyah awal, seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lainnya, pada tahun 1930-an memang sempat juga berwacana soal ideologi negara. Tapi saat itu, konteksnya memang dalam rangka sedang mencari dasar negara. Ketika itu, semua segmen masyarakat Indonesia sedang mencari, termasuk kelompok nasionalis. Muhammadiyah dan NU lahir dalam pergumulan yang mulai paham tentang modernisme. Karena itu, tawarannya bersifat demokratis sekali.

Tapi di era sekarang, memang ada semacam kontinuitas, karena mereka juga menginginkan Piagam Jakarta melembaga kembali. Jadi, ada semacam dendam ideologis setelah kegagalan Piagam Jakarta. Tapi persambungan ini bukanlah model ideologis yang sama seperti di era 1930-an, tapi lebih bernuansa. Sekarang, gerakan-gerakan Islam syariat ini tumbuh di tiga wilayah besar yang selama ini dikenal sebagai basis DI/TII yang terkuat, yaitu Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan beberapa daerah tertentu di Jawa Tengah.

Apa poin yang ingin Anda tekankan?
Poin kita adalah: ada dua konstruksi yang problematis dalam gerakan Islam syariat sekarang ini. Pertama, Islam mereka konstruksi sebagai ajaran yang kâffah atau menyeluruh dan ingin dimasukkan ke hampir semua aspek kehidupan. Mereka memaknai Islam secara absolut dan harfiah. Tapi di sisi lain, Islam juga mengalami reduksi sedemikian rupa ketika hanya diterjemahkan sebagai syariat yang lebih condong ke aspek hudud (hukum pidana). Karena itu, ketika tampil dengan slogan mereka, yang muncul sesungguhnya adalah syariatisasi dan ideologisasi Islam yang berorientasi pada kekuasaan.

Kedua, dalam konteks kontinuitas dan diskontinuitas tadi, gerakan salafiyah ideologis ini dapat juga dilihat sebagai semacam sempalan dari yang sudah ada sebelumnya. Mereka seakan memutus mata rantai corak Islam Indonesia yang bersifat moderat dan terkadang tampil sebagai antitesis upaya domestifikasi Islam yang dibawakan oleh para wali dan generasi Islam awal abad XX. Akibatnya, yang terjadi adalah munculnya wajah Islam yang begitu absolut, lebih rigid, harfiah, dan cenderung tidak toleran terhadap pandangan orang lain.

Apa dampak gerakan ini jika kelak semakin meluas di tengah masyarakat Indonesia?
Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, suasana toleransi pada umat Islam akan semakin menyempit. Padahal selama ini, Islam menjadi dinamis karena keragaman internalnya. Tapi kalau gerakan ini menguat, kalau ada banyak pandangan yang bermunculan, cara menanggapinya bukan lagi dengan dialog, tapi fatwa dan klaim sesat-menyesatkan.

Kedua, proses dakwah Islam akan selalu bercorak struktural di mana orientasi akhirnya terletak pada perebutan kekuasaan. Memang, aspek kekuasaan juga penting guna membangun negara agar berfungsi untuk mengurusi rakyat. Tapi, ketika agama terlalu ambisius ingin masuk ke pusaran kekuasaan, itu justru akan mematikan gerakan pencerahan dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Ketiga, kendatipun umat Islam Indonesia di republik ini mayoritas, tapi secara sosiologis mereka tetap sangat beragam. Dan mayoritas itu justru ”kaum abangan” dengan latar belakang sosio-kultural dan religiusitas yang tetap Islam. Nah, tampilnya corak Islam yang absolut dan serba syariat menjadi arus yang kuat, mungkin sekali akan menimbulkan fragmentasi di tubuh umat Islam sendiri. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang selama ini abangan dan sudah nyaman dengan corak Islam kultural untuk berpaling ke tempat lain yang lebih memberi kenyamanan secara teologis.

Apa rekomendasi buku yang diangkat dari disertasi Anda ini untuk gerakan Islam lainnya atau pemerintah?
Ada dua rekomendasi. Pertama, buat gerakan Islam yang sudah menjadi arus besar seperti Muhamadiyah dan NU, mereka perlu merevitalisasi gerakan dakwahnya. Tantangannya: bagaimana memperkaya khazanah keagamaan agar dapat menjawab problem-problem kultural dan struktural di masyarakat yang selama ini sedang mengalami krisis. Nah, jawaban-jawaban teologis yang penuh mozaik dari Islam mainstream ini, kemungkinan dapat menjadi alternatif bagi proses objektikasi dan netralisasi gerakan Islam syariat.

Kedua, bagi pemerintah, sejauh tak mampu memecahkan problem kemiskinan dan marginalisasi sosial karena peran yang salah kaprah, maka radikalisme atas nama apapun akan selalu tumbuh, termasuk atas nama agama. Dan ini akan memberi peluang bagi gerakan-gerakan Islam semacam ini untuk tetap tumbuh dan mekar di negeri ini.

Kamis, 23 Agustus 2007

Sekilas Prophetic

The Prophetic Institute merupakan lembaga nirlaba dan non pemerintah yang didirikan tanggal, 12 Desember 2004 oleh minoritas anak muda di makassar. Visinya adalah menghadirkan konstruksi baru peradaban yang lebih manusiawi, sejahtera yang dibingkai dengan semangat pluralitas.

Manajemen The Prophetic Institute

Direktur Eksekutif :
Masmulyadi

Project Officer :
Fajlurrahman Jurdi
Hamzah Fanshuri
Lily Mulyani A.S.

Asisten Project Officer :
Nur Ihsan
Imran
Nila Nabila Amalia

Secretary:
Andi Muhammad Abdi

Financial Manager :
Zaenal Abidin

Volunteer :
Ahmad Dani
Basri Hasanuddin