Jumat, 24 Agustus 2007

Gerakan Formalisasi Syariat Tak Ada Matinya!

Perjuangan formalisasi syariat di tingkat negara tak pernah berhenti sejak republik ini berdiri. Kini, perjuangan itu diwakili oleh gerakan Islam syariat yang berpandangan salafiyah-ideologis. Mengapa gerakan ini tak pernah mati? Buku Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah-Ideologis di Indonesia memberi cukup jawaban. Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan penulis buku tersebut, Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta yang dikutip dari www.islamlib.com, semoga saja memperkaya gagasan tenteng diskursus Islam Syari'at.

Pak Haedar, buku Anda, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, merupakan ulasan pertama tentang gerakan-gerakan Islam baru di Indonesia sejak era reformasi. Apa yang dimaksud dengan istilah ”salafiyah ideologis” di situ?
Haedar Nashir: Penggunaan istilah “salafiyah-ideologis” itu saya rujukkan ke semangat puritanisasi yang tumbuh di dalam beberapa gerakan Islam setelah era reformasi. Menurut saya, ini gejala yang agak lain dari gerakan salafiyah pada umumnya. Salafisme memang merupakan gerakan kebangkitan Islam yang tekanannya pada pemurnian dan ingin menerapkan Islam secara otentik sebagaimana era salaf (generasi Islam perdana). Pada generasi salafiyah sebelumnya, gerakan-gerakan semacam ini bercabang menjadi kelompok yang fokus untuk pemurnian, dan yang lebih ke arah pembaharuan Islam.

Nah, salafisme yang muncul sekarang ini tekanannya justru lebih ke politik. Semangat puritanisasinya kemudian memeroleh tambatan pada aspek Islam dalam konstruksi syariat yang muara sebenarnya ke arah integralisme Islam yang telah tereduksi. Orientasi ideologis mereka tampak sangat kentara. Mereka ingin menerapkan syariat dalam konteks negara—syariat yang melembaga ke dalam negara. Dari situ saya menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan ini lebih berorientasi ke tujuan-tujuan politik.

Apakah ada kelanjutan atau pertalian antara gerakan salafiyah ideologis ini dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya, seperti NII atau DI/TII dan unsur-unsur salafisme dalam Muhamadiyah sendiri?
Gerakan salafiyah awal, seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lainnya, pada tahun 1930-an memang sempat juga berwacana soal ideologi negara. Tapi saat itu, konteksnya memang dalam rangka sedang mencari dasar negara. Ketika itu, semua segmen masyarakat Indonesia sedang mencari, termasuk kelompok nasionalis. Muhammadiyah dan NU lahir dalam pergumulan yang mulai paham tentang modernisme. Karena itu, tawarannya bersifat demokratis sekali.

Tapi di era sekarang, memang ada semacam kontinuitas, karena mereka juga menginginkan Piagam Jakarta melembaga kembali. Jadi, ada semacam dendam ideologis setelah kegagalan Piagam Jakarta. Tapi persambungan ini bukanlah model ideologis yang sama seperti di era 1930-an, tapi lebih bernuansa. Sekarang, gerakan-gerakan Islam syariat ini tumbuh di tiga wilayah besar yang selama ini dikenal sebagai basis DI/TII yang terkuat, yaitu Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan beberapa daerah tertentu di Jawa Tengah.

Apa poin yang ingin Anda tekankan?
Poin kita adalah: ada dua konstruksi yang problematis dalam gerakan Islam syariat sekarang ini. Pertama, Islam mereka konstruksi sebagai ajaran yang kâffah atau menyeluruh dan ingin dimasukkan ke hampir semua aspek kehidupan. Mereka memaknai Islam secara absolut dan harfiah. Tapi di sisi lain, Islam juga mengalami reduksi sedemikian rupa ketika hanya diterjemahkan sebagai syariat yang lebih condong ke aspek hudud (hukum pidana). Karena itu, ketika tampil dengan slogan mereka, yang muncul sesungguhnya adalah syariatisasi dan ideologisasi Islam yang berorientasi pada kekuasaan.

Kedua, dalam konteks kontinuitas dan diskontinuitas tadi, gerakan salafiyah ideologis ini dapat juga dilihat sebagai semacam sempalan dari yang sudah ada sebelumnya. Mereka seakan memutus mata rantai corak Islam Indonesia yang bersifat moderat dan terkadang tampil sebagai antitesis upaya domestifikasi Islam yang dibawakan oleh para wali dan generasi Islam awal abad XX. Akibatnya, yang terjadi adalah munculnya wajah Islam yang begitu absolut, lebih rigid, harfiah, dan cenderung tidak toleran terhadap pandangan orang lain.

Apa dampak gerakan ini jika kelak semakin meluas di tengah masyarakat Indonesia?
Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, suasana toleransi pada umat Islam akan semakin menyempit. Padahal selama ini, Islam menjadi dinamis karena keragaman internalnya. Tapi kalau gerakan ini menguat, kalau ada banyak pandangan yang bermunculan, cara menanggapinya bukan lagi dengan dialog, tapi fatwa dan klaim sesat-menyesatkan.

Kedua, proses dakwah Islam akan selalu bercorak struktural di mana orientasi akhirnya terletak pada perebutan kekuasaan. Memang, aspek kekuasaan juga penting guna membangun negara agar berfungsi untuk mengurusi rakyat. Tapi, ketika agama terlalu ambisius ingin masuk ke pusaran kekuasaan, itu justru akan mematikan gerakan pencerahan dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Ketiga, kendatipun umat Islam Indonesia di republik ini mayoritas, tapi secara sosiologis mereka tetap sangat beragam. Dan mayoritas itu justru ”kaum abangan” dengan latar belakang sosio-kultural dan religiusitas yang tetap Islam. Nah, tampilnya corak Islam yang absolut dan serba syariat menjadi arus yang kuat, mungkin sekali akan menimbulkan fragmentasi di tubuh umat Islam sendiri. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang selama ini abangan dan sudah nyaman dengan corak Islam kultural untuk berpaling ke tempat lain yang lebih memberi kenyamanan secara teologis.

Apa rekomendasi buku yang diangkat dari disertasi Anda ini untuk gerakan Islam lainnya atau pemerintah?
Ada dua rekomendasi. Pertama, buat gerakan Islam yang sudah menjadi arus besar seperti Muhamadiyah dan NU, mereka perlu merevitalisasi gerakan dakwahnya. Tantangannya: bagaimana memperkaya khazanah keagamaan agar dapat menjawab problem-problem kultural dan struktural di masyarakat yang selama ini sedang mengalami krisis. Nah, jawaban-jawaban teologis yang penuh mozaik dari Islam mainstream ini, kemungkinan dapat menjadi alternatif bagi proses objektikasi dan netralisasi gerakan Islam syariat.

Kedua, bagi pemerintah, sejauh tak mampu memecahkan problem kemiskinan dan marginalisasi sosial karena peran yang salah kaprah, maka radikalisme atas nama apapun akan selalu tumbuh, termasuk atas nama agama. Dan ini akan memberi peluang bagi gerakan-gerakan Islam semacam ini untuk tetap tumbuh dan mekar di negeri ini.

Tidak ada komentar: