Kamis, 30 Agustus 2007

Menggagas Gerakan Profetik, Menapak Jalan Lain Peradaban

“Perubahan senantiasa memerlukan suatu tindakan untuk mengupayakan perbaikan atau perubahan, atas suatu kondisi yang dinilai tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan dan keadilan” (Timur Mahardika)


Ketidakadilan adalah fenomena yang menista nilai-nilai kemanusiaan, keadaan dimana fungsi-fungsi interaksi sosial yang manusiawi dikebiri lewat struktur kekuasaan (dalam semua level dan dimensi). Didalamnya terciptalah (atau diciptakan?) orang-orang yang hidup dari kesakitan dan ketakutan. Mereka inilah yang harus disebut sebagai korban tirani, dan despotik. Dengan infrastruktur kekuasaan yang canggih dan lengkap serta perangkat koersif rakyat miskin tidak lagi memiliki makna, yang setiap saat sah untuk disingkirkan, digusur, dan entah diapalagi dengan alasan yang memerih rasa “demi keindahan dan kenyamanan kota atau mengganggu ketenangan the have (yang berpunya).”

Kejahatan sosial, ekonomi, dan kultural telah berlangsung dalam kurung episode panjang sejarah sosial manusia. Zaman bergerak menuai penindasan demi penindasan di dalamnya dan telah berlalu bersamanya orang-orang yang mempersaksikan dan mentasbihkan dirinya untuk melakukan perlawanan. Ketidak adilan terus berlanjut dan mengalami pendakian yang semakin menuju ketitik yang tragis. Kini tiba di terminal pilihan. Apa yang niscaya dilakukan? Itu adalah pilihan terserah mobil filsafat sosial apa yang akan kita kendarai.

Membangun Gerakan

Bila diyakini bahwa manusia memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi agar kemanusiaannya menjadi nyata, maka setiap tindakan yang menghalangi aktualnya hak tersebut adalah suatu bentuk kejahatan, dan sebaliknya setiap usaha untuk mendukung proses realisasi hak-hak dasar tersebut adalah sah dan benar. Dengan nalar sosiologis sederhana, kita akan mampu melihat bahwa sistem yang otoritarian-hegemonik adalah biang kerok terhalangnya realisasi hak-hak dasar tersebut.

Basic need dalam sebuah tata sosial kemasyarakatan dapat dirujuk secara general pada kemerdekaan eksistensi dan perolehan rasa aman anak-anak jalanan, pemulung, kaum difabel (differently ability), adalah kelompok masyarakat yang mengingingkan juga kemerdekaan eksistensi. Mereka menolak stigma sosial yang menyebabkan diferensiasi perlakuan. Seorang pencuri ayam, ingin adanya pendekatan hukum yang memenuhi rasa keadilan, sehingga tidak terjadi perlakuan yang berbeda antara dirinya dengan seorang koruptor yang merampok harta dan menjual negara ini.

Sekedar contoh, seorang siswa sekolah ingin meyakinkan dirinya bahwa nilai prestatifnya tetap aman ketika dia berseberangan persektif dengan gurunya, atau menolak kebijakan sekolah yang (maaf) menggauli kemerdekaan eksistensinya. Pun demikian dengan anak-anak IRM misalnya, ketika dalam aktifitas dan ekspresi sosial mereka, R-nya (Remaja Oriented) terlihat lebih banyak dari pada M-nya (Muhammadiyah Minded), sesungguhnya mereka ingin agar ruang kemerdekaan eksistensinya tidak dikebiri karena adanya phobia a-historis.

Apabila terjadi penyumbatan terhadap kemerdekaan eksistensi dan perolehan rasa aman sebagai basic need (kebutuhan sejati, fitrah) tersebut, maka akan terjadi deviasi dan problem-problem sosial. Ketidak patuhan sistem kemasyarakatan dan ketidakpatuhan kriminal yang berbuah nestapa peradaban.

Kemelut problematik seperti diatas, tak jarang secara dogmatik dipropagandakan sebagai taken for granted (takdir Tuhan?), sehingga tidak perlu ada penyesalan, melaingkan diterima sebagai takdir, yang kita diperintahkan untuk bersabar terhadapnya. Maka ketika terjadi kebisuan dan kebungkaman solutif yang demikian, kehadiran sebuah gerakan yang meniscayakan bergaungnya kalam perubahan haruslah mewujud. Sehingga, jika kalau kita mendambakan terjadinya transformasi pranata sosial, diperlukan kerangka paradigmatik dalam aksentuasi gerakan

Klasifikasi Gerakan Sosial

Gerakan sosial dapat diklasifikasikan melalui beberapa kriteria yaitu bidang kegiatan, jenis perubahan, arah perubahan, cakupan fungsional dan keteraturan sosial. Selain kriteria tersebut gerakan sosial dapat diklasifikasikan menurut tujuan yang hendak dicapai oleh suatu gerakan sosial. Tokoh yang menggunakan kriteria ini adalah William Kornblum. Kriteria tersebut memberikan empat klasifikasi, yaitu : revolutionery movement, reforist movement, conservative movement, dan reactionary movement. Pertama, Revolutionery Movement, sebuah gerakan sosial dikatakan revolutionery movement, apabila bertujuan untuk merubah institusi dan stratifikasi masyarakat. Gerakan ini terkait dengan revolusi sosial yang merupakan suatu transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya institusi pemerintahan dan stratifikasi sosial. Contoh dari gerakan ini adalah revolusi di Rusia pada tahun 1917 dan revolusi China pada tahun 1949. Pada kedua revolusi tersebut sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi masyarakatnya berubah menjadi sistem komunis. Suatu revolusi harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) melibatkan massa dalam gerakan sosial, (2) menghasilkan proses reformasi atau perubahan (change), (3) melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan dan anarkisme.

Kedua, reformist movement, gerakan sosial yang bertujuan untuk merubah sebagian institusi dan nilai diklasifikasikan sebagai reformist movement. Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908 di Jakartaa merupakan gerakan reformis, karena gerakan ini bertujuan untuk memberikan pendidikan formal kepada pribumi. Dimana pada saat itu yang mendapatkan pendidikan formal hanya para bangsawan pribumi.

Ketiga, conservative movement, gerakan sosial yang bertujuan untuk mempertahangkan nilai dan institusi masyarakat. Contoh dari gerakan ini adalah gerakan konservative wanita STOP ERA (Equal Ritgs Amandement). Gerakan ini menentang usaha kaum feminis pada tahun 80-an untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi menjamin persamaan hak pria dan wanita.

Keempat, reactionery movement, adalah suatu gerakan sosial yang bertujuan untuk mengganti institusi dan nilai masa kini dengan institusi dan nilai masa lampau. Contoh yang diberikan Kornblum adalah gerakan Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Organisasi rahasia ini berusaha mengembalikan keadaan di Amerika Seriat ke masa lampau di kala institusi-institusi sosial mendukung keungulan keunggulan orang kulit putih di atas orang kulit hitam (white supremacy).

Gerakan Sosial Profetik

Mengkaji ilmu-ilmu sosial atau filsafat sosial profetik tidak bisa dilepas dari sosok budayawan Yogyakarta, Kuntowijoyo. Apa yang menarik dan yang digagas oleh Pak Kunto? Secara sederhana dapat kita lihat pada bukunya Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991), dia memandang bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika – sebagai adjective dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektifikasi” beserta ilmu-ilmu modern lainnya.

Gerakan sosiol profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubaan sosial yang berangkat dari nilai profetika (kenabian) dengan kerangka pemikiran sosil yang multi paradigmatik. Jadi, bisa dikatakan bahwa gerakan sosial profetik hampir mirip dengan gerakan anti kekerasan, humanis kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap realitas sosialnya dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang aktivis harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari struktur realitas tersebut. Maka, pendekatan yang dipakai adalah terlibat bergumul secara langsung dengan relitas yang dialami masyarakat. Ya, seperti itulah para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Ketika realitas dieroleh, maka perlu pelibatan apakah analisis sosial, pendekatan pemahaman (interpretatif) untuk membaca bersama-sama realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermaneutika, verstehen, maupun kajian fenomenologis.

Di tengah paradoks globalisasi dan modernitas yang mengalami krisis makna, sudah saatnya gerakan sosial profetik menjadi tawaran untuk melanjutkan kerangka usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Gerakan sosial profetik hanyalah salah satu model perubahan sosial yang tidak mengenal kata akhir dan merupakan proses yang tidak berhenti alias terus menerus, suatu yang “commencement”, yaitu selalu “dimulai dan dimulai lagi” atau menurut Freire, tidak boleh mandek atau berhenti pada suatu titik kemapanan, ia harus terus berproses, mekar dan berlanjut dari satu fase-kefase berikutnya, dari tingkat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis” dan pada akhirnya mampu mencapai tingkat kesadaran paling tinggi yaitu kesadaran-kesadaran (the consice of the consciousness). Seperti juga kata Pak Kunto bahwa yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat kearah yang adil, santun, dan manusiawi, dengan berangkat pada tiga unsur pembentuknya, yaitu emansipasi, liberasi, dan transendensi. Wallahu A’lam Bish-Shawab. ( Masmulyadi, Ketua PP IRM )

Tidak ada komentar: